Spiga

Ali Mustofa : Kepala KUA dan Ketua Tanfidziyah NU Bojonegoro


Ali Mustofa, adalah alumni MAPK surakarta angkatan pertama. Ia masuk ke MAPK pada tahun 1990 ketika MAPK Solo baru didirikan. Ia dan 15 orang temannya dari Jawa Timur sebenarnya tidak bermaksud bersekolah di MAPK Surakarta, namun ketika ia mengikuti seleksi masuk MAPK Jember ternyata ia bersama 15 siswa lain dinyatakan diterima di MAPK Surakarta.
Sosok kelahiran Juli 1974 ini berasal dari kelauarga ulama NU di Jombang dan sejak kecil hidup di lingkungan pondok pesantren. Sebelum belajar di MAPK Surakarta ia belajar di pondok pesantren Mamba'ul Ma'arif Denyanyar Jombang. Sejak di bangku Tsanawiyah ia sebenarnya bercita-cita untuk melanjutkan studi di Timur Tengah, khususnya al-Azhar Kairo, namun karena pada saat kelulusannya dari MAPK Solo tahun 1993 tidak ada seleksi beasiswa ke Mesir, dan pemerintah juga mendirikan proyek Perguruan Tinggi Islam kelanjutan MAPK di Solo, maka ia dan sebagian besar alumni MAPK Solo melanjutkan studi di IAIN Walisongo di Surakarta.
Setelah menyelesaikan SI, alumni yang mempersunting gadis Ponorogo yang juga teman sekampusnya ini langsung melamar menjadi Pegawai Pencatat Nikah di Jawa Timur.
Taqdir Allah telah membawa alumni yang pernah aktif di HMI ini, untuk hijrah ke tanah Bojonegoro untuk menjalankan tugas sebagai PPN di sana. Di kabupaten bagian utara Jawa Timur ini, ia juga aktif di jam'iyah NahdhatulUulama. Bekal pengalaman organisasi dan ilmu yang diperoleh sejak di MAPK dan Perguruan Tinggi mengantarkannya menjadi orang penting di NU Bojonegoro. Tak lama aktif di NU ia dipilih sebagai sekretaris, dan sekarang (2008) ia terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah Wilayah Bojonegoro.
Di Karir kedinasan, alumni yang memperoleh gelar magisternya dari UNISMA Malang di bidang Hukum Islam ini juga terbilang cepat. Sejak tahun 2007 ia telah menjabat kepala KUA kota Bojonegoro.
Bagi alumni yang ketika di MAPK pernah menjabat Sekretaris OPPK, MAPK Surakarta telah banyak memberikan pendidikan karakter yang positif. Kesan yang masih melekat hingga kini adalah pendidikan agama Islam yang tidak doktrinal, tetapi memberikan wawasan yang luas dengan para asaatidz dari berbagai latar belakang ormas keagamaan. Yang tak kalah penting pula, katanya , bekal bahasa Arab dan Inggris, yang menjadikannya lebih mudah dalam menempuh studi di Perguruan Tinggi.